Jumat, 24 Desember 2010

Cerita di Utara Jakarta

2010. Ini pengalaman pertama saya berpetualang ke suatu pulau. Salah satu destinasi yang menjadi favorit di utara kota Jakarta, Pulau Tidung. Bersama dengan beberapa kawan, saya mulai perjalanan di malam hari, sepulang mengenyam pendidikan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kemlu, tempat saya mengadu nasib (baca : kantor) untuk menginap di rumah seorang kawan. Penuh dengan perjuangan, menentang derasnya hujan, akhirnya sampailah saya tepat pukul 11 malam dengan keadaan basah sesukses-suksesnya.

Keesokan paginya, kami ke Muara Angke, titik tolak terdekat menuju Pulau Tidung. Butuh waktu lebih kurang 3 jam untuk mencapai pulau dengan perahu bermuatan lebih kurang 50 orang, atau mungkin lebih. Touch down, Pulau Tidung, dan ternyata udaranya sangat panas. Homestay kami ga ber-AC, cukup dengan fan yang pada akhirnya memuntahkan angin, karena semakin ditiup, semakin panas.

Well, Pulau Tidung ini tidak luas, tapi banyak aktivitas yang bisa dilakukan di sana. Bersepeda dan snorkeling adalah yang primadonanya. Selain tentunya kita harus mencoba Jembatan Cinta. Foto-foto di sana, asik, bagus. Serius.

In the end of the journey, tak hentinya saya bersyukur. Ternyata di Jakarta, masih ada tempat seperti ini. Ibu kota negara, yang identik dengan carut marut.

Seperti biasa, saya ga terlalu pinter berkata-kata. Pictures are enough to describe, are they?

Touch Down, Muara Angke
Dekat dermaga, Pulau Tidung 
Jembatan Cinta, Pulau Tidung
Tua, Jembatan Cinta - Pulau Tidung
Antrian, Muara Angke
Langit Jakarta, Pulau Tidung
Photograph by : Wulan Febrianti

it's done and in a mess



after struggling for about a year, i've made my thesis completed. struggle yang sebenarnya bisa dibilang baru dimulai awal november, saat saya menyadari kalo term ketiga, alias term terakhir pendaftaran sidang untuk skripsi di semester ini telah dekat. hm.. lebih efektif lagi, yaa, sekitar dua minggu sebelum tanggal 17 Desember 2010 (yang konon menjadi tanggal keramat bagi anak ekstensi UI yang sedang mencoba menyelesaikan skripsi mereka), yaitu tanggal terakhir untuk submit si mr. script. bisa dibayangkan seperti apa kalang kabutnya saya, ketika mendengar rumor tanggal submit terakhir dimajukan menjadi 10 Desember, yang ternyata belakangan benar-benar gosip yang bikin panik sejagat FE, karena ternyata itu berlaku bagi anak reguler semata. panik, ngebut luar biasa saat itu saya mengerjakannya. ibarat mobil kecepatannya mungkin seperti mobil balap. selama satu minggu itu pula kamar saya yang menawan berubah menjadi kapal pecah. ibu saya pun tak ayal berkomat-kamit layaknya mbah dukun sedang membaca mantra, seraya meneriaki anaknya (baca : saya) untuk segera membereskannya. kamar saya memang sangat porak poranda, kertas tersebar dimana-mana, buku-buku bertebaran, dan semua barang jadi misplaced gitu, ga sesuai sama tempat aslinya. benar-benar mirip kacau seperti habis perang dunia ketiga. dengan dalih saya akan merapikan semuanya setelah skripsi, ibu saya pun reda. tapi tampaknya, keadaan tidak membaik, kamar saya masih dalam keadaan porak poranda. kali ini saya berdalih, nanti saja, setelah sidang usai. dan begitu seterusnya. ya, sekelumit kisah tentang skripsi dan segala kegilaan yang mengikutinya.

Sabtu, 11 Desember 2010

walking through

Selayang pandang di jantung kota Jakarta
Ring 1, orang menyebutnya
Hiruk pikuk katanya

Tapi tidak di pagi itu
Mobil dan motor jalan satu persatu
Merdeka Timur tampak ramah bagiku
Komplek Galeri Nasional lengang tak menentu
Immanuel gagah berdiri di hadapku

walk on sidewalk, Jalan Merdeka Timur
closer, Komplek Galeri Nasional
from the outside, Gereja Immanuel
to the God, Gereja Immanuel

All photos taken by me

Selasa, 07 Desember 2010

Biar Alam yang Bicara

Biarkan alam bicara, betapa betapa indah ciptaan-Nya


Biarkan alam bicara, betapa betapa elok ciptaan-Nya..


Biarkan alam bicara, betapa betapa cantik ciptaan-Nya..


Dan biarkan alam bicara, betapa betapa sempurna ciptaan-Nya






 

*all pictures were taken place at South Sumatera in August 2010
Photograph by : Wulan Febrianti, Raida Firas, Nydia Harkasari


Sabtu, 07 Agustus 2010

pengakuan


suka itu tak pandang bulu. suka itu tak kenal kasta, harta ataupun usia. suka itu datang tanpa kompromi. dan seringkali suka itu kalahkan logika. seperti aku suka kamu kini..

aku suka kamu lebih dari yang kamu tahu
aku suka kamu, mungkin terlalu
aku suka senyum tulusmu
aku suka gelak tawamu
aku ingat saat kamu membuka pembicaraan denganku
aku suka semua tentangmu
they can make me smile in a whole day

oh Tuhan, apa yang ku rasa ini? perasaan yang tak seharusnya ada. perasaan yang harus ku bunuh sebelum dewasa..

*you're just too good to be true, can't take my eyes of you. unfortunately you're just my perfect dream. the dream that never have come true..*

dedicated to you..

Sabtu, 03 Juli 2010

ada yang salah
apa yang salah
akukah yang salah?

tak adil..
itu bukan mauku
itu bukan inginku
terjadi begitu saja
bukan dalam sekejap mata

ku tak kuasa..

kuharap ia pergi segera
bersama seluruh asa yang ada
kuharap ia kembali segera
membawa mimpi ke alam nyata

Rabu, 05 Mei 2010

hey you, i love you!

getir pahit terasa di dada
makin ku mengingkari kian kuat adanya
pernah ku ucap janji untuk merelakannya
praktik tak semudah teori nyatanya

ku pasang topeng utuk menutupi
gejolak hati yang serba tak pasti
tak cukup sebongkah es ku rasa
tuk redam m'radangnya amarah

lelah terus berada di balik jendela
ingin ku tunjukkan padanya, di sini ku ada..
jika bisa ku katakan padanya
hey, ya, aku cinta padanya!

- mei 5, 2010 -

Jumat, 30 April 2010

menyerah tanpa syarat

Terjebak dalam ruang yang sama
Kesekian kalinya namun tetap berbeda
Sekejap datang dan sulit menghilang

Tersiksa pikiran karena asanya
Terkuras waktu karena khayalan
Semua terasa percuma
Sebab yang ada kosong
Dan hampa tersisa

Berserah pada takdir
Menyerah tanpa syarat
Berusaha singkirkan walau berat

Berpaling pergi
Perlahan pun menjauh
Saatnya terima kenyataan
Kembali pada realita



-apr 30,10-

titik terakhir

ia meniti titik-titik itu dengan tekun dan teliti
hingga menjadi sebuah garis panjang
satu demi satu dari waktu ke waktu

kadang barisan titik meliuk, tidak lurus semestinya
kadang garis terlihat sempurna, tanpa ada cacatnya

kini ia berada di ujung garis panjang yang dilaluinya
hampir sampai pada titik yang menambah panjangnya

berusaha sekuat tenaga
pun akhirnya tak dapat digapai
dan barisan titik itu pun berhenti

sementara titik-titik lain
menunggu untuk dirangkainya
nun jauh di sana

-apr 29, 2010-
picture taken from : http://d.yimg.com/gg/u/85743c69e3c80e26af9c9427421846a4887c774b.jpeg

Senin, 22 Februari 2010

(untitled)

strata itu benar adanya
tak bisa terelakkan, nyata di depan mata
siap menenggelamkanku dalam hampanya asa
merengkuhku utuh dan perlahan sirna

aku tak peduli dengan puncak yang tak dapat kuraih
tak peduli juga harus merasa perih
tapi satu yang kuminta dengan lirih
kesamaan dan kesetaraan sebagai harga mati

 

jika sampai waktunya nanti
biarlah mereka terus meraja
biar mereka terus berrkuasa
namun tak kubiarkan semangat ini mati
hanya untuk sesuatu yang fana.

-feb 9,'10-

Senin, 08 Februari 2010

Stairway to Heaven

Saya berandai-andai jika Doraemon, tokoh dalam serial kartun dengan judul yang sama, benar-benar ada di dalam kehidupan nyata. Dengan kantong ajaibnya, segala hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, segala benda yang tidak ada menjadi ada. Bukankah hidup jadi lebih mudah? Terlihat sangat sederhana. Tapi mengapa tidak begitu nasib Nobita *si empunya Doraemon*? Situasi hampir selalu berakhir buruk ketika menggunakan alat dari kantong ajaibnya.

Setelah saya pikir-pikir *tentunya dengan kesoktahuan saya* mungkin aja pengarangnya, Fujiko F. Fujio, menyampaikan pesan tersirat atau bahkan mengarahkan siapapun pemirsanya untuk tidak menganggap hidup tidak se-simple itu. Semua yang tinggi dimulai dari rendah, semua yang banyak dimulai dari sedikit, dan semia yang besar dimulai dari kecil. Artinya tidak ada sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa adanya proses, atau istilah zaman sekarang, tidak ada yang instan. Kesuksesan, kebahagiaan, kekayaan, pangkat atau jabatan dimulai dari nol, kawan. Kita pantas bersusah-susah dahulu untuk berbahagia kemudian.

Banyak kisah yang mengilhami dan menginspirasi kita bahwa kesuksesan hidup itu dimulai dari hal yang sederhana, hal yang kecil. Kisah tentang kartunis dan wirausahawan yang sukses, Walt Disney*, yang dahulu drop out dari sekolahnya. Kisah Bill Gates** yang jenius namun tidak lulus kuliah karena merintis perusahaan software yang kini merajai dunia. Atau bahkan kisah Chaerudin*** 'Si Pembersih Kali Pesanggrahan'  yang dahulu dicemooh orang.

Jangan takut akan rintangan, jangan takut akan perjuangan. Seperti yang mentor saya katakan dan selalu saya ingat, "Cangkir cantik itu dahulu tidak apik bentuknya. Untuk menjadi seperti itu ia dikoyak, dilumat, bahkan dibakar." Filosofi cangkir cantik itu harusnya bisa kita ambil hikmahnya.

Saya yakin dan percaya, ketika kita mendapatkan sesuatu melalui tahapan, bukan dengan sekejap mata niscaya kita akan menjadi lebih kuat, bahkan jika suatu saat kita terjatuh. Jadi berbahagialah kalian yang sedang bersusah, karena di depan sana telah menunggu kesuksesan yang sesungguhnya.--- 

Tuhan pasti kan menunjukkan
kebesaran dan kuasa-Nya
bagi hambanya yang sabar
dan tak kenal putus asa
(The Massive - Jangan Menyerah)

>>to Shinta, Dania, Vita, keep on moving, keep on fighting! suatu saat kita akan menjadi sesuatu asal yakin kita pasti bisa.


A Broken Promise

Kamis, 4 Februari 2010

Di keriuhan kelas hukum bisnis saat itu, gw merasa berada di tempat yang salah dimana gw dan teman-teman gw menjadi kaum minoritas. Tempat yang berisikan “pembunuh karakter” kelas kakap  Setidaknya itu sebutan teman gw untuk orang-orang berpredikat cumlaude yang kerjanya menjadi penghancur distribusi nilai di kelas *tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun, no hard feeling. Peace!* Grrh. Mencoba mengerti apa yang dosen gw terangin, lama-lama jenuh itu datang.  Akhirnya gw mulai mengganggu Nining, teman seperjuangan gw yang sama-sama sedang kerajingan menulis. Apa aja kita tulis, gurauan, cerita sehari-hari, syair dan lain-lain. Padahal gw udah janji untuk ga mengulang ‘tragedi auditing’ *dimana saat dosen nerangin gw dan dia malah asik-asikan main tebak gambar yang akhirnya berujung dengan ketidakmengertian gw pas jawab soal UAS* lagi. 

Well, janji tinggallah janji, gw mulai berbisik, “Ning, nih lanjutin!” sambil menyodorkan secarik flyer *kegiatan apaaa gitu, gw lupa* yang dikasih sama ade kelas *jiah, angkatan tua, berasa senior! Pyuh!* Tulisannya gini..“Gugusan awan terlukis di langit biru” sambil menyontek metodenya Rere di notes facebooknya, gw minta dia nerusin apa yang gw tulis kemudian kembali ke gw dan terus secara bergantian. Dan jadilah tulisan ini..

Gugusan awam terlukis di langit biru
Semburat oranye terpancar di balik awan-awan di lautan biru
Tersenyum cerah seorang anak di balik jendela
Senang, menatap indahnya Sang Mentari
Kicauan burung mengiringi tatapan tajam bola matanya
Entah kenapa di balik tatapan tajamnya, ada kesenduan mendalam yang janggal

Kehabisan ide, akhirnya kertas gw serahkan ke Erika, dan dia melanjutkan.

Tak jua ku tahu mengapa bibir tipi situ tiba-tiba terbungkam
Seakan tak mampu kembali melantunkan lirik-lirik indah nan menyejukkan sanubari

Setelah diam lama dan berakting mendengar dosen menerangkan, gw pun dapat ide melanjutkan lagi, sehingga tulisan tadi tertutup dengan sempurna.

Perlahan senyumpun surut, mata menatap kosong.
Ada rasa yang menghantuinya. Lirih, rintihan suara hatinya.
Ia berbalik, menjauhi jendela, bersama tenggelamnya sang surya dan menggelapnya cakrawala.
-selesai-

Haha, anak ekonomi yang sedang merasa seperti anak sastra. Padahal dalam realitanya pasti jauh dari orang-orang di seberang jembatan texas *jembatan penghubung antara FIB dan FE di UI* sana. Tapi two thumps up lah buat kita, walaupun kita melewati hukum bisnis pertemuan pertama dengan sia-sia. Janji ga akan ada lagi :p

Selasa, 02 Februari 2010

Don't judge the book by its cover..

don't judge the book by its cover..

sore itu, sekitar daerah blok m, saya menunggu angkutan umum yang belakangan ini menjadi tumpangan saya setelah pulang kantor, metro mini. sejurus kemudian, datanglah si oranye yang saya tunggu. mencari tempat duduk yang tidak berpenghuni, saf paling depanlah yang saya dapat. di sebelah saya, seorang kakek duduk dengan posisi kaki di atas dashboard. terbayang dalam pikiran saya, kakek ini pasti tidak berpendidikan. dimana attitude dan etikanya, di angkutan kota duduk sembarangan. huh.

hendak memejamkan mata *ya ini memang kebiasaan saya di manapun, tidur!* sejenak. namun kakek tadi menyapa saya, "pulang kerja atau pulang ngajar, mbak?" dengan perasaan malas saya menjawab dan tersenyum kecut "kerja pak." ternyata tidak cukup sampai di situ, kakek itu rupanya terus bertanya dan bahkan bercerita tentang kehidupannya.

perbincangan sore itu, terus terngiang sampai saat ini. kakek itu memulai dengan menghujat pemerintahan *dan lagi-lagi saya berpikir, kakek ini kalangan bawah yang bisanya cuma menyalahkan pemerintah atas nasibnya, plis deh cukup di tv saja ada hujat-menghujat, saya sudah bosan!*, berbicara tentang rakyat kecil, dan bla bla bla. namun saya gerah dan akhirnya saya bertanya, "bapak bekerja?" kakek itu pun menjelaskan bahwa dia adalah seorang freelance atau konsultan hukum *saya tidak tau apa tepatnya profesi bapak itu, tapi kurang lebih ya demikian*. oh ok, pantas dia menghujat pemerintah dan menyinggung rakyat kecil. kakek itu sudah beruban, kurus, terlihat renta, mungkin umurnya 70an. tapi ternyata klien dan kawannya adalah orang-orang ternama. beliau bercerita tentang keluarganya, 4 orang anaknya yang telah bekerja semua dan tidak ada yang mau bekerja di pemerintahan. dia merasa gagal, bukan, bukan karena mereka ini tidak mengabdi pada negara *PNS-red*, tapi karena tidak satupun dari mereka yang menjadi wiraswasta. baginya menjadi wiraswasta lebih mulia daripada pekerja, mereka yang berwiraswasta membuka lapangan pekerjaan, bukannya berebut lapangan pekerjaan. di antara seluruh ceritanya itu, yang membuat saya tersenyum di hati, adalah ketika kakek itu berkata dia hidup di Jakarta, sendiri, istri dan anak-anaknya di kampung halamannya di Sumatera. Sementara ia, ngekos di bilangan petukangan.

perjuangan, pantang menyerah, dan tidak berpangku tangan di masa senjanya membuat saya tidak habis berpikir. andaikan saja semua orang di Indonesia seperti kakek itu, harusnya negeri kita ini sudah menjadi bangsa yang maju..

don't judge the book by it's cover.. rasanya pepatah itu musti saya camkan.