Senin, 22 Februari 2010

(untitled)

strata itu benar adanya
tak bisa terelakkan, nyata di depan mata
siap menenggelamkanku dalam hampanya asa
merengkuhku utuh dan perlahan sirna

aku tak peduli dengan puncak yang tak dapat kuraih
tak peduli juga harus merasa perih
tapi satu yang kuminta dengan lirih
kesamaan dan kesetaraan sebagai harga mati

 

jika sampai waktunya nanti
biarlah mereka terus meraja
biar mereka terus berrkuasa
namun tak kubiarkan semangat ini mati
hanya untuk sesuatu yang fana.

-feb 9,'10-

Senin, 08 Februari 2010

Stairway to Heaven

Saya berandai-andai jika Doraemon, tokoh dalam serial kartun dengan judul yang sama, benar-benar ada di dalam kehidupan nyata. Dengan kantong ajaibnya, segala hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, segala benda yang tidak ada menjadi ada. Bukankah hidup jadi lebih mudah? Terlihat sangat sederhana. Tapi mengapa tidak begitu nasib Nobita *si empunya Doraemon*? Situasi hampir selalu berakhir buruk ketika menggunakan alat dari kantong ajaibnya.

Setelah saya pikir-pikir *tentunya dengan kesoktahuan saya* mungkin aja pengarangnya, Fujiko F. Fujio, menyampaikan pesan tersirat atau bahkan mengarahkan siapapun pemirsanya untuk tidak menganggap hidup tidak se-simple itu. Semua yang tinggi dimulai dari rendah, semua yang banyak dimulai dari sedikit, dan semia yang besar dimulai dari kecil. Artinya tidak ada sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa adanya proses, atau istilah zaman sekarang, tidak ada yang instan. Kesuksesan, kebahagiaan, kekayaan, pangkat atau jabatan dimulai dari nol, kawan. Kita pantas bersusah-susah dahulu untuk berbahagia kemudian.

Banyak kisah yang mengilhami dan menginspirasi kita bahwa kesuksesan hidup itu dimulai dari hal yang sederhana, hal yang kecil. Kisah tentang kartunis dan wirausahawan yang sukses, Walt Disney*, yang dahulu drop out dari sekolahnya. Kisah Bill Gates** yang jenius namun tidak lulus kuliah karena merintis perusahaan software yang kini merajai dunia. Atau bahkan kisah Chaerudin*** 'Si Pembersih Kali Pesanggrahan'  yang dahulu dicemooh orang.

Jangan takut akan rintangan, jangan takut akan perjuangan. Seperti yang mentor saya katakan dan selalu saya ingat, "Cangkir cantik itu dahulu tidak apik bentuknya. Untuk menjadi seperti itu ia dikoyak, dilumat, bahkan dibakar." Filosofi cangkir cantik itu harusnya bisa kita ambil hikmahnya.

Saya yakin dan percaya, ketika kita mendapatkan sesuatu melalui tahapan, bukan dengan sekejap mata niscaya kita akan menjadi lebih kuat, bahkan jika suatu saat kita terjatuh. Jadi berbahagialah kalian yang sedang bersusah, karena di depan sana telah menunggu kesuksesan yang sesungguhnya.--- 

Tuhan pasti kan menunjukkan
kebesaran dan kuasa-Nya
bagi hambanya yang sabar
dan tak kenal putus asa
(The Massive - Jangan Menyerah)

>>to Shinta, Dania, Vita, keep on moving, keep on fighting! suatu saat kita akan menjadi sesuatu asal yakin kita pasti bisa.


A Broken Promise

Kamis, 4 Februari 2010

Di keriuhan kelas hukum bisnis saat itu, gw merasa berada di tempat yang salah dimana gw dan teman-teman gw menjadi kaum minoritas. Tempat yang berisikan “pembunuh karakter” kelas kakap  Setidaknya itu sebutan teman gw untuk orang-orang berpredikat cumlaude yang kerjanya menjadi penghancur distribusi nilai di kelas *tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun, no hard feeling. Peace!* Grrh. Mencoba mengerti apa yang dosen gw terangin, lama-lama jenuh itu datang.  Akhirnya gw mulai mengganggu Nining, teman seperjuangan gw yang sama-sama sedang kerajingan menulis. Apa aja kita tulis, gurauan, cerita sehari-hari, syair dan lain-lain. Padahal gw udah janji untuk ga mengulang ‘tragedi auditing’ *dimana saat dosen nerangin gw dan dia malah asik-asikan main tebak gambar yang akhirnya berujung dengan ketidakmengertian gw pas jawab soal UAS* lagi. 

Well, janji tinggallah janji, gw mulai berbisik, “Ning, nih lanjutin!” sambil menyodorkan secarik flyer *kegiatan apaaa gitu, gw lupa* yang dikasih sama ade kelas *jiah, angkatan tua, berasa senior! Pyuh!* Tulisannya gini..“Gugusan awan terlukis di langit biru” sambil menyontek metodenya Rere di notes facebooknya, gw minta dia nerusin apa yang gw tulis kemudian kembali ke gw dan terus secara bergantian. Dan jadilah tulisan ini..

Gugusan awam terlukis di langit biru
Semburat oranye terpancar di balik awan-awan di lautan biru
Tersenyum cerah seorang anak di balik jendela
Senang, menatap indahnya Sang Mentari
Kicauan burung mengiringi tatapan tajam bola matanya
Entah kenapa di balik tatapan tajamnya, ada kesenduan mendalam yang janggal

Kehabisan ide, akhirnya kertas gw serahkan ke Erika, dan dia melanjutkan.

Tak jua ku tahu mengapa bibir tipi situ tiba-tiba terbungkam
Seakan tak mampu kembali melantunkan lirik-lirik indah nan menyejukkan sanubari

Setelah diam lama dan berakting mendengar dosen menerangkan, gw pun dapat ide melanjutkan lagi, sehingga tulisan tadi tertutup dengan sempurna.

Perlahan senyumpun surut, mata menatap kosong.
Ada rasa yang menghantuinya. Lirih, rintihan suara hatinya.
Ia berbalik, menjauhi jendela, bersama tenggelamnya sang surya dan menggelapnya cakrawala.
-selesai-

Haha, anak ekonomi yang sedang merasa seperti anak sastra. Padahal dalam realitanya pasti jauh dari orang-orang di seberang jembatan texas *jembatan penghubung antara FIB dan FE di UI* sana. Tapi two thumps up lah buat kita, walaupun kita melewati hukum bisnis pertemuan pertama dengan sia-sia. Janji ga akan ada lagi :p

Selasa, 02 Februari 2010

Don't judge the book by its cover..

don't judge the book by its cover..

sore itu, sekitar daerah blok m, saya menunggu angkutan umum yang belakangan ini menjadi tumpangan saya setelah pulang kantor, metro mini. sejurus kemudian, datanglah si oranye yang saya tunggu. mencari tempat duduk yang tidak berpenghuni, saf paling depanlah yang saya dapat. di sebelah saya, seorang kakek duduk dengan posisi kaki di atas dashboard. terbayang dalam pikiran saya, kakek ini pasti tidak berpendidikan. dimana attitude dan etikanya, di angkutan kota duduk sembarangan. huh.

hendak memejamkan mata *ya ini memang kebiasaan saya di manapun, tidur!* sejenak. namun kakek tadi menyapa saya, "pulang kerja atau pulang ngajar, mbak?" dengan perasaan malas saya menjawab dan tersenyum kecut "kerja pak." ternyata tidak cukup sampai di situ, kakek itu rupanya terus bertanya dan bahkan bercerita tentang kehidupannya.

perbincangan sore itu, terus terngiang sampai saat ini. kakek itu memulai dengan menghujat pemerintahan *dan lagi-lagi saya berpikir, kakek ini kalangan bawah yang bisanya cuma menyalahkan pemerintah atas nasibnya, plis deh cukup di tv saja ada hujat-menghujat, saya sudah bosan!*, berbicara tentang rakyat kecil, dan bla bla bla. namun saya gerah dan akhirnya saya bertanya, "bapak bekerja?" kakek itu pun menjelaskan bahwa dia adalah seorang freelance atau konsultan hukum *saya tidak tau apa tepatnya profesi bapak itu, tapi kurang lebih ya demikian*. oh ok, pantas dia menghujat pemerintah dan menyinggung rakyat kecil. kakek itu sudah beruban, kurus, terlihat renta, mungkin umurnya 70an. tapi ternyata klien dan kawannya adalah orang-orang ternama. beliau bercerita tentang keluarganya, 4 orang anaknya yang telah bekerja semua dan tidak ada yang mau bekerja di pemerintahan. dia merasa gagal, bukan, bukan karena mereka ini tidak mengabdi pada negara *PNS-red*, tapi karena tidak satupun dari mereka yang menjadi wiraswasta. baginya menjadi wiraswasta lebih mulia daripada pekerja, mereka yang berwiraswasta membuka lapangan pekerjaan, bukannya berebut lapangan pekerjaan. di antara seluruh ceritanya itu, yang membuat saya tersenyum di hati, adalah ketika kakek itu berkata dia hidup di Jakarta, sendiri, istri dan anak-anaknya di kampung halamannya di Sumatera. Sementara ia, ngekos di bilangan petukangan.

perjuangan, pantang menyerah, dan tidak berpangku tangan di masa senjanya membuat saya tidak habis berpikir. andaikan saja semua orang di Indonesia seperti kakek itu, harusnya negeri kita ini sudah menjadi bangsa yang maju..

don't judge the book by it's cover.. rasanya pepatah itu musti saya camkan.