Selasa, 02 Februari 2010

Don't judge the book by its cover..

don't judge the book by its cover..

sore itu, sekitar daerah blok m, saya menunggu angkutan umum yang belakangan ini menjadi tumpangan saya setelah pulang kantor, metro mini. sejurus kemudian, datanglah si oranye yang saya tunggu. mencari tempat duduk yang tidak berpenghuni, saf paling depanlah yang saya dapat. di sebelah saya, seorang kakek duduk dengan posisi kaki di atas dashboard. terbayang dalam pikiran saya, kakek ini pasti tidak berpendidikan. dimana attitude dan etikanya, di angkutan kota duduk sembarangan. huh.

hendak memejamkan mata *ya ini memang kebiasaan saya di manapun, tidur!* sejenak. namun kakek tadi menyapa saya, "pulang kerja atau pulang ngajar, mbak?" dengan perasaan malas saya menjawab dan tersenyum kecut "kerja pak." ternyata tidak cukup sampai di situ, kakek itu rupanya terus bertanya dan bahkan bercerita tentang kehidupannya.

perbincangan sore itu, terus terngiang sampai saat ini. kakek itu memulai dengan menghujat pemerintahan *dan lagi-lagi saya berpikir, kakek ini kalangan bawah yang bisanya cuma menyalahkan pemerintah atas nasibnya, plis deh cukup di tv saja ada hujat-menghujat, saya sudah bosan!*, berbicara tentang rakyat kecil, dan bla bla bla. namun saya gerah dan akhirnya saya bertanya, "bapak bekerja?" kakek itu pun menjelaskan bahwa dia adalah seorang freelance atau konsultan hukum *saya tidak tau apa tepatnya profesi bapak itu, tapi kurang lebih ya demikian*. oh ok, pantas dia menghujat pemerintah dan menyinggung rakyat kecil. kakek itu sudah beruban, kurus, terlihat renta, mungkin umurnya 70an. tapi ternyata klien dan kawannya adalah orang-orang ternama. beliau bercerita tentang keluarganya, 4 orang anaknya yang telah bekerja semua dan tidak ada yang mau bekerja di pemerintahan. dia merasa gagal, bukan, bukan karena mereka ini tidak mengabdi pada negara *PNS-red*, tapi karena tidak satupun dari mereka yang menjadi wiraswasta. baginya menjadi wiraswasta lebih mulia daripada pekerja, mereka yang berwiraswasta membuka lapangan pekerjaan, bukannya berebut lapangan pekerjaan. di antara seluruh ceritanya itu, yang membuat saya tersenyum di hati, adalah ketika kakek itu berkata dia hidup di Jakarta, sendiri, istri dan anak-anaknya di kampung halamannya di Sumatera. Sementara ia, ngekos di bilangan petukangan.

perjuangan, pantang menyerah, dan tidak berpangku tangan di masa senjanya membuat saya tidak habis berpikir. andaikan saja semua orang di Indonesia seperti kakek itu, harusnya negeri kita ini sudah menjadi bangsa yang maju..

don't judge the book by it's cover.. rasanya pepatah itu musti saya camkan.

4 komentar:

  1. wkwkw,, setujuu,, siapa yang tahu kalau bapak tua itu lebih patriotik dibanding gadis muda disebelahnya.. pisss.. xp

    BalasHapus
  2. sial lo ning.. gw menunggu postingan baru lu nih.. manaa hai maaanaa?

    BalasHapus
  3. haha..terjebak lo moey..
    iy yak hebat kakek itu...two thumbs up deh buat semangat san kakek =)
    dr segi lo nyeritain, juga bagus moey..membuat pembaca membayangkan apa yg lo ceritakan...
    lanjutkan moey...klo perlu buat buku =P

    =Rani= (ga punya login blogspot)

    BalasHapus
  4. moey,.."rani" itu c nyo2l yaak?haha,,pake nama rani sgala,,hihi..
    iyak dah mang paling ga bs ngeliat orng dr segi luarnya doank yak,,hihi,,,
    -'naEy-

    BalasHapus